II Sam. 7:1-14a; Mzm. 89:20-37; Ef. 2:11-22; Mark. 6:30-34, 53-56
Pengantar
Pada tanggal 10 Juni 2009 telah diresmikan suatu jembatan terpanjang di Indonesia sehingga jembatan tersebut menjadi salah satu landmark dan ikon Indonesia, khususnya masyarakat Jawa Timur. Jembatan tersebut disebut dengan jembatan Suramadu, yaitu singkatan dari “Surabaya – Madura”. Jembatan Suramadu menghubungkan pulau Jawa (di Surabaya) dan pulau Madura (di Bangkalan), yang mana memiliki panjang 5.438 m (5,4 km). Tujuan utama dari pembangunan jembatan Suramadu untuk mempercepat pembangunan di pulau Madura, meliputi bidang infrastruktur dan ekonomi di Madura, yang relatif tertinggal dibandingkan kawasan lain di Jawa Timur. Jembatan Suramadu yang menelan biaya sekitar Rp. 4,5 terilyun terdiri dari 3 bagian yaitu Jalan layang (“causeway”), Jembatan penghubung (“approach bridge”) dan Jembatan utama (“main bridge”). Dengan kehadiran jembatan Suramadu ini berarti pemerintah dan seluruh pihak yang terkait berhasil menghubungkan 2 wilayah yang semula berjauhan sebab dipisahkan oleh laut menjadi relatif dekat. Makna kehadiran dan fungsi suatu jembatan senantiasa merelatifkan jarak yang semula terputus dan jauh. Sehingga melalui jembatan yang telah terhubung tidak ada lagi suatu tempat atau wilayah yang terasing. Mungkin tempat atau wilayah tersebut dahulu kurang dikenal dan terkucilkan. Tetapi saat wilayah tersebut terhubungkan dengan fasilitas jembatan, maka wilayah tersebut menjadi satu-kesatuan dengan wilayah lain. Jembatan senantiasa mengintegrasikan kedua wilayah yang terputus menjadi media komunikasi publik. Demikian pula halnya dengan fasilitas jembatan Suramadu. Memang tidak berarti dahulu pulau Madura sebelumnya tidak dikenal oleh rakyat Indonesia. Karena setiap orang ke pulau Madura sejak dahulu dapat menggunakan kapal laut. Tetapi kini dengan fasilitas jembatan Suramadu, setiap orang yang berkepentingan dari Madura ke Surabaya dan sebaliknya tidak lagi tergantung kepada jadwal pelayaran, kapasitas penumpang kapal laut dan cuaca laut. Mereka dapat pergi setiap saat dengan mudah, cepat dan biaya yang relatif lebih murah.
Kristus Sebagai Pengantara
Sejak dahulu umat manusia telah berinteraksi dengan Allah melalui berbagai agama. Karena itu usia keberadaan agama-agama sebenarnya seusia atau sama tuanya dengan sejarah umat manusia. Melalui agama yang diyakininya umat telah belajar berdoa dan mempersembahkan korban atau ritual kepada Allah. Namun umumnya dari tiap-tiap penganut agama tersebut muncul kesadaran yang sangat kuat bahwa hakikat Allah tidak terjangkau. Allah dialami begitu transenden, jauh dan maha-tinggi. Selain itu keberadaan Allah begitu kudus dan sangat bertolak-belakang dengan hakikat manusia yang fana dan berdosa. Dengan demikian interaksi manusia dengan Allah sering menjadi interaksi yang begitu muskil. Karena itu muncul golongan imam atau resi yang mencoba untuk menjembatani kemustahilan relasi dengan Allah tersebut. Jadi agama pada dirinya tidak mampu menjembatani hubungan manusia dengan Allah secara efektif dan personal. Karena dalam prakteknya agama-agama justru sering menjauhkan manusia dengan Allah yang secara teologis dan ontologis telah begitu jauh dan tidak mungkin terjangkau. Dalam hal ini peraturan dan hukum-hukum agama justru sering menimbulkan jarak yang semakin jauh karena dipakai untuk menista, menyiksa dan membunuh sesama. Hukum dan ketentuan ilahi yang seharusnya sebagai daya dorong manusia untuk mencari dan memberlakukan kebenaran Allah justru dipakai untuk menguatkan pembenaran diri sendiri. Tidak mengherankan jikalau agama justru sering hadir untuk mempertebal tembok komunikasi dengan sesama. Agama yang seharusnya berfungsi untuk membebaskan, malahan sering berubah fungsi menjadi media yang mengasingkan sesama. Tepatnya agama dipakai atau dimanipulasi untuk melegitimasi sikap eksklusivisme yang membedakan antara umat Allah dan bukan umat Allah.
Dari sudut karya keselamatan dan penyataan Allah harus diakui bahwa Allah telah memilih secara khusus umat Israel. Pemilihan Allah terhadap umat Israel tersebut bukan karena mereka memiliki suatu kelebihan atau jasa rohaniah, tetapi pemilihan tersebut didasarkan karena kasih-karunia dan perjanjian Allah (Ul. 7:7, 9:4-5). Pemilihan Allah kepada suatu umat tersebut membawa konsekuensi bahwa bangsa-bangsa di luar Israel tidak memperoleh keselamatan dan perjanjian Allah. Sehingga sebagai bangsa yang berada di luar perjanjian Allah, maka setiap orang di luar umat Israel menjadi jauh dari kasih-karunia Allah. Dalam konteks ini sebagai umat Kristen, kita harus mengakui umat Israel sebagai umat pilihan Allah. Tanpa pengakuan itu maka kita juga tidak akan dapat menerima Yesus Kristus yang lahir dari umat Israel sebagai Juru-selamat kita. Namun pada sisi yang lain, kita juga harus mengaku bahwa di dalam Tuhan Yesus, Allah telah membuka pintu eksklusivisme umat Israel. Melalui diri Tuhan Yesus, Allah menawarkan keselamatan kepada umat yang semula bukan umat Allah. Sebab Tuhan Yesus dihadirkan oleh Allah sebagai pengantara yang menjembatani antara Allah dan bukan umat Allah. Tepatnya melalui Tuhan Yesus, Allah menyediakan keselamatan dan pengampunan dosa kepada setiap umat manusia termasuk pula umat Israel. Dalam hal ini setiap umat Israel juga membutuhkan Kristus selaku Tuhan dan Juru-selamat, karena mereka tidak mampu untuk menyelamatkan diri dengan kesalehan dan ketentuan hukum Taurat. Sehingga di dalam Tuhan Yesus, kita semua diperdamaikan dengan Allah. Tuhan Yesus adalah jembatan pendamaian (“the bridge of reconciliation”) yang telah memulihkan hubungan manusia dengan Allah, dan juga telah memulihkan hubungan manusia dengan sesamanya. Di Ef. 2:13 rasul Paulus berkata: “Tetapi sekarang di dalam Kristus Yesus kamu, yang dahulu ‘jauh’, sudah menjadi ‘dekat’ oleh darah Kristus”. Sehingga tanpa karya penebusan Kristus, maka kehidupan setiap manusia akan terputus dan jauh dari keselamatan Allah. Di dalam Kristus, tidak ada lagi umat yang berstatus sebagai orang asing atau orang yang tersingkir.
Mengangkat Martabat Manusia
Tujuan utama sebuah jembatan dibangun adalah untuk menghubungkan kedua wilayah secara efektif dan efisien, tetapi juga untuk meningkatkan kualitas hidup setiap orang di kedua wilayah tersebut. Demikian pula kehadiran dan karya Kristus sebagai jembatan pendamaian. Karya penebusan Kristus yang telah mendamaikan Allah dan manusia serta sesamanya juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia sebagai gambar dan rupa Allah. Tepatnya peran Kristus sebagai pengantara bukan hanya untuk menaikkan status umat manusia sebagai anak-anak Allah, tetapi yang lebih utama lagi adalah memampukan setiap orang untuk hidup sebagai anak-anak Allah. Jadi yang lebih penting adalah bagaimana menghayati makna “menjadi anak-anak Allah” secara fungsional dari pada sekedar suatu status. Sebab dengan dirobohkannya tembok pemisah atau tembok-tembok perseteruan, maka setiap umat tidak lagi terhalang untuk berelasi dengan Allah dan sesamanya. Seperti kisah tembok Berlin yang telah dirobohkan pada tanggal 9 Nopember 1989. Sebelumnya tembok Berlin (German: “Berliner Mauer”) merupakan batas pemisah demarkasi antara Berlin Barat dengan “German Democratic Republic” (East Germany), termasuk Berlin Timur. Tembok Berlin yang mulai dibangun pada tanggal 13 Agustus 1961 akhirnya roboh setelah selama 28 tahun menelan korban ratusan orang yang selalu berusaha untuk menyeberangi tembok tersebut. Sehingga pada masa kini kedua “bangsa” di wilayah Jerman Barat dan Berlin Barat leluasa untuk saling mengunjungi dan berinteraksi secara bebas. Mereka tidak lagi “2 bangsa” yang terpisah oleh garis demarkasi, tetapi mereka menjadi satu umat yang bebas dan bermartabat. Robohnya tembok Berlin juga membuka perspektif hidup yang lebih luas dan penuh makna. Demikian pula karya penebusan Kristus. Sebab tujuan karya penebusan Kristus adalah untuk memampukan setiap umat untuk hidup sebagai “satu manusia baru” (Ef. 2:15). Sehingga mereka dimampukan untuk membangun kehidupan yang lebih bermartabat, berkreativitas dan mengoptimalkan seluruh karunia-karunia rohani untuk kemuliaan Allah.
Karya penebusan Kristus yang mendamaikan dan membebaskan itu perlu kita wujudkan dalam setiap aspek kehidupan kita. Kita terpanggil untuk memperjuangkan kesetaraan martabat setiap orang dan kesetaraan gender antara pria-wanita. Sebab pola pikir dunia terus berupaya menciptakan diskriminasi dalam berbagai bentuk. Konsep inti dari diskriminasi adalah roh superioritas yang ingin menundukkan atau menaklukkan orang lain dalam posisi yang lebih rendah. Para pelaku superioritas hendak menegaskan bahwa orang lain tidak boleh memiliki hak dan kedudukan yang sama. Orang lain tidak boleh memiliki apa yang mereka miliki. Orang lain tidak boleh bertindak leluasa dan bebas seperti keleluasaan dan kebebasan mereka. Orang lain tidak boleh berkembang dan maju. Juga orang lain tidak boleh menjadi lebih pandai dan memiliki keahlian seperti mereka. Jadi yang dikehendaki oleh para pelaku superiotas adalah penolakan secara sistematis terhadap hak kesetaraan bagi orang lain. Mereka menghendaki agar orang lain tidak dapat duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Dengan demikian di balik sikap mental superioritas sebenarnya tersembunyi sikap arogan atau keangkuhan yang didasarkan kepada: paradigma mayoritas-minoritas, keyakinan agama yang sempit, etnis, budaya, gender antara pria-wanita, sindrom senioritas-junioritas, dan sebagainya. Itu sebabnya sikap arogansi tersebut diwujudkan dengan cara membangun tembok atau benteng setinggi mungkin untuk membatasi relasi dan interaksi dengan sesama. Wujud dari pola pikir dunia adalah menciptakan umat manusia dalam sekat-sekat dan kasta-kasta yang memposisikan kehidupan bersama dalam garis potong secara vertikal dan horisontal. Dalam garis potong secara vertikal, manusia dilumpuhkan untuk berinteraksi dengan Allah melalui serangkaian peraturan agama yang mengkerdilkan budi. Dan dalam garis potong secara horisontal, manusia dilumpuhkan untuk berinteraksi dengan sesamanya dalam roh kesetaraan. Wujud dari roh dunia adalah menciptakan keterbelengguan yang mengikat akal-budi dan spiritualitas manusia sedemikian rupa sampai mereka diyakinkan bahwa setiap sekat keterbelengguan tersebut bernilai benar dan kudus. Sehingga tidak mengherankan jika kita menyaksikan upaya yang tidak kenal lelah dan sistematis bagi pelaku superioritas untuk melanggengkan sekat-sekat dalam kehidupan umat manusia. Tetapi tidaklah demikian karya penebusan Kristus. Karena karya Kristus justru merobohkan setiap sekat dan kasta. Karya Kristus bertujuan menciptakan keterbukaan yang kreatif dan bermartabat agar setiap orang hidup sesuai dengan panggilan dan karunianya masing-masing. Ef. 2:14 berkata: “Karena Dialah damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak dan yang telah merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan”.
Menciptakan Damai-Sejahtera
Jembatan yang menghubungkan kedua wilayah juga menunjukkan bahwa penghuni dari kedua wilayah tersebut bersedia hidup damai. Sebaliknya ketika mereka berseteru, maka mereka akan merobohkan jembatan tersebut. Salah satu strategi perang yang jitu adalah menghancurkan fasilitas jembatan agar musuh tidak dapat memiliki akses jalan ke daerah mereka. Pada satu pihak karya Kristus dalam kematianNya di atas kayu salib adalah untuk merobohkan setiap tembok pemisah dalam kehidupan umat manusia, tetapi pada pihak lain karya Kristus juga membangun jembatan yang memisahkan manusia dalam keterbelengguannya. Kristus merobohkan sekaligus membangun adalah untuk menciptakan damai-sejahtera yang nyata dalam kehidupan manusia. Tuhan Yesus tidak akan pernah merobohkan apa yang benar dan berharga. Tetapi Kristus selalu membangun apa yang rusak dan hancur dalam kehidupan umat manusia. Karya Kristus seperti pedang bermata dua. Di satu sisi Kristus adalah sosok pembongkar yang radikal. Dia membongkar sesuatu yang jahat sampai ke akar-akarnya. Namun di sisi lain Kristus adalah pembangun (arsitek) yang handal dan kokoh. Dia selalu merancang segala sesuatu dengan teliti, terprogram dan bernilai kekal. Damai-sejahtera yang Dia bangun bukanlah damai-sejahtera yang semu. Tetapi damai-sejahtera yang mampu membawa manusia kepada keselamatan kekal. Karena itu Kristus menciptakan damai-sejahtera yang transformatif yaitu damai-sejahtera yang memampukan manusia untuk hidup dalam pertobatan dan pembaharuan hidup. Dan pada pihak lain damai-sejahtera Kristus yang transformatif adalah damai-sejahtera yang inklusif sebab damai-sejahtera Kristus tidak hanya dibatasi oleh kelembagaan umat Kristen. Sebab tidak setiap umat Kristen adalah umat yang hidup benar dan kudus. Tidak jarang sebagian umat Kristen justru mempraktekkan tembok atau benteng superioritas diri, sehingga memposisikan orang lain hanya sebagai obyek. Namun tidak jarang pula sesama “di luar iman Kristen” menjadi kepanjangan tangan Kristus yang bersedia membangun jembatan pendamaian di tengah-tengah perseteruan. Karena itu kita juga harus membebaskan diri dari stereotif negatif seperti “Kristen dan bukan Kristen”. Sama seperti kita menolak sistem pengaturan negara berdasar atas superioritas agama, seperti: “Islam dan bukan Islam”.
Kekuatan penghancur dari kehidupan damai-sejahtera adalah perilaku kekerasan dalam segala bentuk. Sampai kini dunia masih dikuasai oleh perilaku kekerasan dengan motif agama, politik, ekonomi, rasialisme, seks, dan pemaksaaan kehendak. Ribuan sampai jutaan orang setiap hari sesama di berbagai kawasan mengalami kekerasan dan penganiayaan. Umat Kristen di sejumlah wilayah terus mengalami perlakuan kejam dan penyiksaan. Beberapa di antaranya dibunuh, diculik dan diperkosa karena mereka mempertahankan iman kepada Kristus. Catatan dan informasi dari “Open Doors” memperlihatkan bahwa sangat berbahaya di negara dan wilayah tertentu bagi orang yang percaya dan mengasihi kepada Kristus. Selaku gereja kita harus makin tercelik, bahwa di berbagai belahan dunia dan mungkin di tempat kita berada tidaklah mudah untuk berjalan mengikut Kristus dengan setia. Namun pada saat yang sama kita juga perlu bertanya, apakah kita juga telah mampu membebaskan diri dari perlakuan kekerasan dalam berbagai bentuk kepada orang-orang di sekitar kita? Apakah perkataan dan sikap kita tidak melecehkan dan merendahkan martabat sesama? Kita tidak mungkin menuntut perlakuan adil dan jaminan damai-sejahtera, tetapi dalam realita hidup kita telah menutup seluruh akses dan potensi untuk hidup dalam damai-sejahtera dengan sesama. Hakikat damai-sejahtera yang dianugerahkan dan dibangun oleh Kristus selalu bersifat utuh, tidak terpecah-pecah dan segmentaris. Damai-sejahtera Kristus merangkum setiap umat, dan senantiasa melampaui batas-batas geografis atau demarkasi. Di Ef. 2:17-18, rasul Paulus berkata: “Ia datang dan memberitakan damai sejahtera kepada kamu yang ‘jauh’ dan damai sejahtera kepada mereka yang ‘dekat’, karena oleh Dia kita kedua pihak dalam satu Roh beroleh jalan masuk kepada Bapa”. Karena itu damai-sejahtera Kristus akan menjangkau setiap orang yang menderita karena kebenaran, keadilan dan imannya. Damai-sejahtera Kristus dinyatakan kepada mereka yang lemah-lembut dan bijaksana. Damai-sejahtera Kristus juga akan dialami oleh setiap orang yang kaya dengan pengampunan dan kasih.
Kawan Sewarga Orang-Orang Kudus
Kelancaran jalan yang disediakan oleh jembatan dapat mendukung proses transformasi budaya, perdagangan dan kesejahteraan hidup. Tetapi juga fasilitas jembatan yang berhasil membuka akses ke wilayah yang semula terbelakang juga dapat menimbulkan efek yang buruk. Pola pikir masyarakat yang semula sederhana dan lugu dapat berubah menjadi masyarakat yang memiliki gaya hidup yang konsumtif. Mereka mulai tergoda untuk memperoleh pola-pola hiburan yang tidak mendidik. Segala sesuatu yang bersifat “trendy” segera diserap menjadi gaya hidup. Fasilitas jembatan yang berhasil “menciutkan” jarak geografis yang jauh tiba-tiba berubah menjadi sesuatu yang destruktif secara mental. Seperti pada masa kini di mana hampir setiap orang memiliki hand-phone. Fasilitas media telekomunikasi ini berhasil “menciutkan jarak” interaksi antar manusia lintas negara dan benua. Melalui fasilitas hand-phone, kita dapat mengontak siapa saja dengan biaya yang relatif murah dan dengan kecepatan kilat. Para pengguna hand-phone yang canggih telah diperlengkapi kemampuan untuk mengakses internet sehingga mereka dengan mudah untuk memperoleh berita, data, informasi, gambar, foto dan film dengan begitu mudah. Kita bersyukur kepada Tuhan atas segala karunia melalui fasilitas tersebut. Tetapi bagi sebagian orang lain fasilitas media telekomunikasi tersebut makin menyesatkan. Mereka menggunakan untuk menumpuk kecemaran sesuai dengan pola keinginan duniawi. Tentu solusi yang bijaksana bukan dengan cara menghancurkan jembatan penghubung dan fasilitas hand-phone, komputer atau internet. Sebab yang harus diubah adalah mentalitas dan spiritualitas manusia yang menggunakan fasilitas transportasi atau telekomunikasi tersebut. Mentalitas mereka perlu terus-menerus dikuduskan oleh kuasa Kristus. Mereka perlu berjumpa secara pribadi dengan Kristus, sehingga mereka dapat hidup sebagai kawan sewarga dari orang-orang kudus. Dengan demikian setiap fasilitas jalan atau jembatan dan telekomunikasi dapat dipakai untuk mempermuliakan nama Kristus.
Untuk mencapai tujuan mempermuliakan nama Kristus tidaklah mudah. Sebab yang kita hadapi adalah sistem mentalitas umat yang telah terbentuk. Walaupun mereka mungkin memiliki latar-belakang keagamaan yang kuat, tetapi tidak dijamin spiritualitas mereka telah ditransformasi oleh kuasa Kristus. Misalnya fasilitas transportasi dan komunikasi dalam berbagai bentuk justru dipakai untuk menyebarkan pemikiran-pemikiran yang sempit dan kerohanian yang dangkal. Media internet justru dipakai oleh mereka untuk menyebarkan berbagai sikap kebencian, kecurigaan, permusuhan dan sekat-sekat psikologis atau primordialisme keagamaan kepada banyak orang. Kecanggihan semua peralatan dan media telekomunikasi tersebut justru semakin memperlancar setiap niat buruk dari para penggunanya. Untuk itu kasih Kristus dan kuasa penebusanNya juga perlu disebarkan melalui setiap fasilitas komunikasi dan multi-media yang tersedia. Dalam hal ini gereja tidak boleh bersikap pasif. Setiap umat Tuhan wajib memberi kesaksian yang benar melalui media komunikasi yang dipercayakan Tuhan kepadanya. Bahkan umat Allah harus semakin terampil dan ahli dalam menggunakan fasilitas dan media komunikasi atau multi-media yang tersedia. Tetapi keahlian dan keterampilan mengoperasikan semua fasilitas dan peralatan tersebut haruslah dengan roh kekudusan. Tujuannya agar sebanyak mungkin umat manusia memperoleh pemahaman dan pengenalan akan Kristus. Sehingga mereka dapat menjadi kawan sewarga dari orang-orang kudus. Di Ef. 2:19-20, rasul Paulus berkata: “Demikianlah kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah, yang dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru”. Karya Kristus yang mendekatkan setiap umat yang jauh agar menjadi dekat pada intinya adalah agar mereka mampu hidup sebagai keluarga Allah.
Dengan demikian makna kedekatan hubungan dengan Allah dan sesama pada hakikatnya memiliki tujuan yang luhur, yaitu semakin mengefektifkan kekudusan. Suatu relasi yang dekat, mesra dan intim menjadi tidak bermakna jikalau tidak mampu membawa umat kepada hidup yang lebih kudus. Kedekatan dan kemesraan demikian hanyalah sekedar suatu romantisme belaka, tetapi tidak mampu membawa umat kepada suatu perubahan atau pembaharuan hidup. Padahal inti dari perubahan dan pembaharuan hidup adalah kekudusan. Manakala setiap jemaat menerapkan pola hidup kudus, maka yang akan dicapai adalah suatu bangunan yang rapih tersusun sebagai Bait Allah. Ef. 2:21-22 berkata: “Di dalam Dia tumbuh seluruh bangunan, rapih tersusun, menjadi bait Allah yang kudus, di dalam Tuhan. Di dalam Dia kamu juga turut dibangunkan menjadi tempat kediaman Allah, di dalam Roh”. Perhatikan bahwa hakikat kekudusan perlu diwujudkan dalam suatu “bangunan” (tersusun sebagai Bait Allah). Dengan kata lain kekudusan harus menjadi sistem kehidupan yang terpola sehingga menjadi gaya hidup setiap umat. Panggilan akan kekudusan bukan sekedar urusan pribadi, tetapi urusan komunitas. Bahkan panggilan kekudusan merupakan urusan masyarakat dan negara, serta umat manusia secara keseluruhan. Itu sebabnya Kristus datang untuk menguduskan umat manusia dengan penebusanNya di atas kayu salib. Makna “dahulu kamu jauh – sekarang menjadi dekat” adalah dimampukan untuk hidup kudus dalam kuasa penebusan Kristus.
Panggilan
Karya penebusan Kristus yang mendekatkan umat yang semula jauh menjadi dekat, bukan karena kita layak di hadapan Allah. Hakikat karya keselamatan Allah adalah pemilihanNya yang berdaulat. Pemilihan Allah di dalam Kristus kepada kita didasarkan oleh kuasa anugerahNya. Di Mark. 6:34 menyaksikan: “Ketika Yesus mendarat, Ia melihat sejumlah besar orang banyak, maka tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka seperti domba yang tidak mempunyai gembala. Lalu mulailah Ia mengajarkan banyak hal kepada mereka”. Kristus datang menyelamatkan dan membebaskan kita yang dahulu jauh karena belas-kasihanNya. Dengan demikian tugas panggilan untuk hidup kudus juga perlu didasarkan atas kemurahan kasih Kristus. Sebab kita tidak akan mampu untuk mengupayakan hidup kudus dengan upaya dan kekuatan moral kita. Karena itu dengan kuasa penebusan Kristus, kita dipanggil untuk menguduskan setiap aspek kehidupan. Sehingga kehidupan kita dapat menjadi jembatan yang menghubungkan setiap orang saling berjumpa dalam kasih, dan akhirnya dapat berjumpa dengan Kristus selaku Juru-selamatnya. Amin.
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono
Filed under: MINISTRY